Dibohongin orang lain memang pedih. Dikecewain orang lain memang nyesek. Tapi nggak ada yang lebih nyakitin dari dibohongin diri sendiri.
Soalnya, mau darimana pun kekecewaan datang, kamu bisa bilang dikecewain orang lain, kamu bisa bilang orang lain menyia-nyiakan kepercayaan yang kamu kasih. Tapi akar dari segala kekecewaan adalah pengharapan yang ada di dalam diri sendiri.
Sama seperti pada kasus stalking.
Dulu, manusia itu makhluk sosial. Sekarang, manusia itu makhluk social… media.
Dalam persoalan stalking, yang paling dianggap berperan adalah sang target stalking itu. Sang target stalking bisa menentukan mood si stalker dengan mudah, sangat mudah, bahkan terlalu mudah. Seorang stalker akan dengan mudah senang ketika target stalkingnya ngetwit sedang jatuh cinta… sampai tiba-tiba terngiang pertanyaan kecil dalam diri, “Emang twit itu buat gue ya? Kalo buat orang, gimana?”
Kemudian si stalker yang tadinya bahagia banget, berubah jadi sedih banget. Itu karena, pada kenyataannya, yang paling berperan dalam persoalan stalking, adalah harapan-harapan yang muncul dalam diri sendiri.
Memang begitulah kehidupan stalker di dunia Twitter. Mood seorang stalker itu kayak roller coaster. Karena timeline Twitter adalah tempat yang anomali, bisa bikin yang sedih jadi bahagia, yang bahagia jadi sedih, atau yang bahagia makin bahagia, dan yang nyesek jadi makin nyesek. Semua bisa muter-muter jungkir balik.
Hati-hati, jatuh cinta dapat menyebabkan apa pun yang dia twit terlihat seolah itu buat kamu.
Permasalahan ketika stalking adalah sebelum melakukan ibadah kegiatan itu, kamu sedikit-banyak pasti udah punya harapan-harapan yang kamu harap bisa menjawab rasa penasaran. Contoh kecilnya…
“Dia apa kabar yaaa?” kata stalker dalam hati, sebelum memulai stalking. Dan ya, kalimat itu yang sering banget jadi dasar dan awal sebelum stalking. Kalimat yang berbahaya.
Lalu setelah bertanya-tanya hal itu, pasti ada keinginan buat ngecek timeline Twitter dia. Harapan paling mendasar setelah pertanyaan tadi terlontar adalah… ‘gue bisa tau kabar dia dari twitnya,’ lalu kamu mencet “go to user” atau masuk ke list/inner circle, terus kamu scroll-scroll dan kamu nggak mendapati dia ngetwit apa pun. Dia nggak ngetwit.
Lalu kamu kecewa.
Ya, kamu menanamkan harapan bahwa si dia akan update perasaannya atau apa yang dia alami seharian di akun Twitter-nya, tapi nyatanya nggak.
Karena itulah, nampaknya kita harus berhenti stalking.
Selain karena alasan di atas, kegiatan stalking jadi semakin rawan. Sepertinya Twitter udah paham betul kemampuan para stalkers udah di level seasoned atau bisa dibilang menuju expert, makanya apps native dari Twitter ada update-an yang bikin para stalkers dapet tantangan baru…
Lihat di bawah setiap twit sekarang ada tombol reply, retweet, dan yang paling berbahaya adalah tombol favorit. Sekarang stalking jadi semakin berisiko, sehingga mungkin nggak salah kalau gue bilang, “Stalker yang andal adalah yang nggak pernah nggak sengaja kepencet favorite.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar