Selasa, 20 Agustus 2013

Resensi novel

Judul Buku: Tawanan Benteng Lapis Tujuh (Novel Biografi Ibnu Sina)
Penulis: Husayn Fattahi
Penerbit: Penerbit Zaman, Jakarta
Cetakan: I, 2011 Tebal: 296 halaman

KabarIndonesia - Betapa suatu anugerah tersendiri dengan telah diterjemahkannya novel biografi Ibnu Sina ini. Dalam terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan Penerbit Zaman, Jakarta, pada awal tahun 2011, novel ini diberi judul Tawanan Benteng Lapis Tujuh: Novel Biografi Ibnu Sina. Judul asli novel karya Husayn Fattahi ini adalah Sajin Qal’ah al-Aswar as-Sab’ah, diterbitkan Dar Ba’i, Dasmakus, pada tahun 2009 M/1430 H. 

Mungkin sebagian kita kurang begitu populer dengan nama Ibnu Sina (908-1037 M). Namun demikian, zaman tak mungkin bisa melupakan nama ini. Ibnu Sina telah ditakdirkan mengabadi melintasi zaman. Ia memang seorang tokoh besar. Reputasinya diakui di mata dunia. Di Barat, Ibnu Sina populer dengan nama Avicenna. Ia menghasilkan begitu banyak karya tulis, salah satunya adalah al-Qanun fi at-Thibb atau juga disebut Canon of Medicine. Tak hanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris, al-Qanun fi at-Thibb karya Ibnu Sina juga diterjemahkan dalam pelbagai bahasa, seperti bahasa Ibrani, Latin, Perancis, Spanyol, Italia, dan sebagainya. 

Buku Ibnu Sina al-Qanun fi at-Thibb tak bisa dimungkiri pernah menjadi rujukan utama para akademisi kedokteran di dunia Timur dan Barat. Philip K. Hitti menuturkan, “Teks berbahasa Arab dari buku al-Qanun fi at-Thibb diterbitkan di Roma pada tahun 1593, dan kemudian menjadi salah satu buku berbahasa Arab tertua yang pernah diterbitkan. Diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard dari Cremona pada abad ke-12, buku tersebut, dengan seluruh kandungan ensiklopedisnya, susunannya yang sistematis, dan penuturannya yang filosofis, segera menempati posisi penting dalam literatur kedokteran masa itu, menggantikan karya-karya Galen, al-Razi, dan al-Majuzi, serta menjadi buku teks pendidikan kedokteran di sekolah-sekolah Eropa. Pada 30 tahun terakhir abad ke-15, buku itu telah mengalami 15 kali cetak ulang dalam bahasa Latin, dan satu kali dalam bahasa Ibrani....Dari abad 12 hingga abad 17, buku itu menjadi panduan utama ilmu kedokteran di Barat, dan masih digunakan di dunia Timur Islam. Dalam ungkapan Dr. Osler, buku itu telah menjadi “kitab suci kedokteran dalam waktu yang lebih lama daripada karya-karya lainnya."”(Baca, Philip K. Hitti, History of The Arabs, edisi terjemahan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, cetakan I Oktober 2008), hlm. 460-461). Apakah buku Ibnu Sina ini juga masih dipelajari dalam dunia kedokteran sampai kini?

Dengan membaca novel ini, kita dapat menyaksikan jejak Ibnu Sina sejak kecil sampai meninggal dunia. Penulisan al-Qanun fi at-Thibb oleh Ibnu Sina juga turut diceritakan. Pada dasarnya, Ibnu Sina tak hanya menguasai bidang kedokteran, tapi juga pelbagai disiplin ilmu lainnya. Dalam buku The Spirit of Islam, Syed Ameer Ali berkata, “Ibnu Sina, tak diragukan lagi, merupakan orang paling berbakat pada zamannya. Ia berbakat dalam banyak bidang ilmu dan tulisan-tulisannya bersifat ensiklopedis.”(Baca, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, edisi terjemahan (Yogyakarta: Penerbit Navila, cetakan I 2008), halaman. 435).

Dikisahkan dalam novel ini, Ibnu Sina sejak kecil memang tekun menimba ilmu, bahkan harus berganti-ganti guru dalam waktu tak lama akibat daya belajarnya yang begitu cepat. Ia juga rajin melahap pelbagai literatur. Pada usia 10 tahun, al-Qur’an telah ia kuasai. Ia pun terus mempelajari banyak hal. Terkait hal ini, Prof. DR. Azyumardi Azra, MA pernah menuturkan, “Ibnu Sina tidak sekadar membaca dan menyelidiki ilmu-ilmu. Lebih jauh ia menuliskan apa-apa yang diketahuinya itu, baik dalam bentuk artikel, risalah maupun buku-buku.”(Baca, Prof. DR. Azyumardi Azra, MA., Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan I November 2002), halaman 380).

Meskipun kurang lengkap memaparkan karya-karya tulis Ibnu Sina, Husayn Fattahi lewat novel ini tak lupa mengisahkan laku menulis Ibnu Sina. Menurut riwayat, ada ratusan karya tulis dihasilkan Ibnu Sina. Husayn Fattahi menyebutkan beberapa karya tulis Ibnu Sina dalam novel ini. Husayn Fattahi sebagai penulis novel tentu telah melakukan riset mendalam terkait jejak perjalanan Ibnu Sina dan mencoba menyajikannya dalam bentuk novel.

Dalam jejak langkahnya, kepiawaian Ibnu Sina ternyata mengundang kedengkian dan iri hati beberapa pihak. Ibnu Sina juga merasakan wajah kekuasaan dan pergolakan politik yang ternyata malah membuat rusuh kehidupannya. Novel ini menceritakan kisah Ibnu Sina dari satu istana ke istana lainnya. Pelarian pun harus dilakukan Ibnu Sina dari daerah tempat tinggalnya menuju daerah yang sekiranya aman demi menyelamatkan diri. Sampai suatu ketika Ibnu Sina mendapatkan nasib dijebloskan dalam Benteng Fardajan yang terletak di wilayah Hamdan. Ibnu Sina menjalankan laku menulis ketika mendekam di penjara ini. Beberapa karyanya yang dihasilkan adalah buku Dalil al-‘Aql, Hayy ibn Yaqzhan, dan al-Qadha’ wa al-Qadr (halaman 249- 252).

Banyak hal bisa dibaca lewat novel ini untuk mengetahui jejak kehidupan Ibnu Sina. Pastinya, novel ini belum, bahkan tak mungkin mengisahkan Ibnu Sina secara detail dari lahir sampai meninggal dunia. Ada keterbatasan referensi yang kerap ditemui oleh para penulis sejarah, apalagi terkait dengan biografi seorang tokoh. Pun, setiap penulis novel juga memiliki fokus penceritaan tersendiri dalam novelnya.

Membaca novel ini, kita tak melulu disuguhi kisah Ibnu Sina dalam hiruk-pikuk kekuasaan. Ada keteladanan dari seorang Ibnu Sina yang bisa kita petik, seperti kecintaannya terhadap ilmu. Lewat novel ini, kita dapat membaca kisah Ibnu Sina dalam menyembuhkan pelbagai penyakit—yang kritis sekali pun. Meskipun memiliki kehebatan, Ibnu Sina tetap berlaku rendah hati. Ada pernyataan Ibnu Sina dalam novel ini yang menarik direnungkan, “Ganjaran paling besar bagi seorang dokter adalah kesembuhan pasien.”

Ibnu Sina telah tercatat dalam tinta emas sejarah. Novel karya Husayn Fattahi ini berupaya untuk mengingatkan kita terhadap sosok Ibnu Sina. Tak sekadar mengenang, kita harapannya juga bisa menimba keteladanan dari sisi baik seorang tokoh besar ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar